Thursday, January 7, 2010

kenyamanan adalah antitesis dari prestasi

salju gurun

di hamparan gurun yang seragam, jangan lagi menjadi butiran pasir. sekalipun nyaman engkau di tengah impitan sesamamu, tak akan ada yang tahu jika kau melayang hilang.

di lingkungan gurun yang serba serupa, untuk apa lagi menjadi kaktus. sekalipun hijau warnamu, engkau tersebar dimana-mana. tak ada yang menangis rindu jika kau mati layu.

di lansekap gurun yang mahaluas, lebih baik tidak menjadi oase. sekalipun rasanya kau sendiri, burung yang tinggi akan melihat kembaranmu disana-sini.

ditengah gurun yang tertebak, jadilah salju yang abadi. embun pagi tak akan kalahkan dinginmu, angin malam akan menggigil ketika melewatimu, oase akan jengah, dan kaktus terperangah. semua butir pasir akan tahu jika kau pergi, atau sekadar bergerak dua inci.

dan setiap senti gurun akan terinspirasi karena kau berani beku dalam neraka, kau berani putih meski sendiri, karena kau... berbeda.

(salju gurun-dee,1998)

***

sebuah prosa yang sangat cantik dari dewi lestari, menggambarkan bahwa menjadi seragam itu sangat tidak cantik. menjadi sama itu tak membuatmu berprestasi, terkungkung dalam kenyamanan. dee berpikir juga seperti subcomandante marcos, pemimpin pemberontak di Chiapas, Mexico yang berseru kepada para pengikutnya untuk bangkit dari kenyamanan semu yang diberikan pemerintah mexico agar kaum indian mexico dapat menunjukan siapa sebenarnya mereka, menunjukan bahwa mereka unik dan tidak sama dengan antek-antek kapitalis yang menyembah profit sebagai Tuhan. memberontak dengan menggunakan kata-kata sebagai senjata demi merebut kembali tanah leluhur yang dianeksasi kaum kapitalis demi mendapatkan Tuhannya mereka.

sejak lama Jostein Gaarder, filsuf novelis terbaik Norwegia, selalu memulai filosofinya dengan pertanyaan sederhana, mengapa kita ada di dunia ini? sama dengan pertanyaan penting Plato, apakah kita benar-benar ada di dunia ini, atau kita hanyalah ide dari Tuhan? dalam bukunya yang menjadi bestseller terbaik, dunia shopie (menjadi bestseller selama 60 tahun), Gaarder membuat perumpamaan bahwa kita seperti kutu yang tertidur pulas di bulu-bulu hangatnya kelinci, tanpa pernah bermaksud untuk memanjat bulu tersebut, untuk melihat dan mengetahui ada apa di balik dunia bulu-bulu itu. Gaarder menyentil kita dengan kenyamanan fakta bahwa kita adalah manusia, tanpa pernah bermaksud mencari tahu kenapa kita manusia, dan ada apa di luar dunia manusia kita.

kenyamanan seperti yang dituangkan Dee, Marcos, dan Gaarder adalah antitesis dari prestasi. sebuah gambaran yang cukup mengerikan ketika sebutir pasir nyaman berada ditengah teman-temannya yang seragam sampai-sampai temannya tidak tahu jika pasir itu menghilang, sama tidak tahunya pasir itu jika ada temanya yang menghilang. atau ketika kenyamanan disuapi dengan upah, dengan uang, dengan buah-buah busuk padahal tanah nenek moyang diinjak-injak untuk menghasilkan buah-buah kualitas ekspor. nyaman dengan keseragaman.

1 comment:

Anonymous said...

wah, boleh juga dikatakan
kenyamanan sangat dekat dengan kemalasan dan ketidakproduktifan. Jadi hati-hati mungkin levelnya beda tipis.