Thursday, January 14, 2010

Kematian, Perubahan dan Penyikapan

Gantina Rachma Putri S.Si M.Si

“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.”
(QS At Tin : 4)

Profil Etoser Bandung angkatan 2007 adalah hal pertama yang saya lihat saat mulai merapihkan pekerjaan malam ini. Profil yang dijadikan ‘basa-basi’ oleh PemRed blog Etos Bandung saat mengirimkan sms sore tadi, padahal pak PemRed hanya ingin tahu apa artikel yang saya janjikan sudah selesai atau belum. Karena beliau menjamin kelucuan profil ini, saya sedikit terobati (jangan diulangi ya, dek..). Teman-teman, profilnya memang membuat saya tertawa berkali-kali. Sempatkan menonton Novi yang menjadi agen Listrik, Ikhya sang agen Air, atau Lani yang menjadi agen Pembersih Selokan. Belum lagi adegan merokok yang super kagok dari kawan-kawan etoser (atah pisan-lah...). Tapi, saya salut dengan kreativitas mereka!!

Profil yang dibuat sekitar dua tahun yang lalu itu memperlihatkan perubahan mereka. Perubahan secara fisik tentunya karena dapat terlihat langsung, misalnya Lani dan Oki yang sekarang berkacamata atau Narni yang tambah tembem. Sementara perubahan non-fisik hanya dapat saya raba-raba, belum dua bulan Allah swt. mempererat ukhuwah kami dalam Beastudi Etos. Satu keyakinan, pengalaman hidup dan konsep berpikir mereka meluas dan mendalam sekarang. Seperti halnya diri ini, dua tahun cukup untuk menyadari betapa berharga berlari bersama detak jantung waktu. Berpindah dari satu kondisi ke kondisi lain dengan kecepatan berbeda di tiap geraknya. Ya, setiap kita mengalami perubahan secepat helaan nafas harian.

‘Perubahan’, diksi yang merupakan keniscahyaan dalam hidup. Sesederhana mengingat kembali perkembangan anak dari tahun-ke-tahun. Dalam kenyataannya, orangtua tahu bahwa permainan emosi menemani perjalanan itu. Tak tersadari seperti meniadakan dunia saat terjebak dalam komunikasi berjarak. Komunikasi dimana intensitas berbanding terbalik dengan jarak. Waktu tak lagi jadi hirauan bukan? Karena tak sekedar aku dan kamu lagi, sekarang kebersamaan lebih dalam meng-artikulasi-kan kita.

‘Perubahan’, meninggalkan batas antar situasi seperti ijab qabulnya pernikahan yang memutarbalikkan halal-haram. Sebagian tertantang melewati jembatan itu, lainnya terlalu banyak pertimbangan dalam melangkah. Sebagian meyakinin kebenaran janji Allah swt. dalam An Nuur ayat 26 dan 32. Sementara lainnya terlalu banyak mengeluarkan kalimat, “Bagaimana jika...?”. Katakanlah pernikahan ini hanya contoh kasus saja karena kehidupan adalah kumpulan perubahan keadaan. Secara umum, perlu keberanian dalam melangkah menghadapinya. Resiko terbesar apa yang mampu (dalam prediksi) dihadapi oleh kelemahan manusia saat keluar dari zona nyaman. Saat kelemahan manusia disandingkan dengan himpunan langkah menuju un-known zone.

Di sisi lain, seperti yang pak Kusno sampaikan saat pembinaan tempo hari, referensi dan waktu dapat menjadi andalan untuk menunaikan tanggung jawab. Setidaknya pernikahan menyisakan referensi (narasumber maupun buku) dan bukti nyata sehingga effort difokuskan untuk meng-aplikasi-kan ilmu. Bagaimana dengan perubahan-perubahan dalam perjalanan ke akhir zaman?

“Kalau hari kematianku telah datang,
bagaimana aku bisa lari dari kematian itu,
hari dimana telah ditakdirkan untuk tidak bisa atau bisa.
Hari yang ditakdirkan itu tidak aku takuti,
karena yang telah ditakdirkan mati,
tidaklah selamat dari kepastiannya.”
(Ali bin Abi Thalib ra.)

Kematian menjadi pembeda dunia-akhirat ditandai dengan nafas tak lagi dapat terhela, nadi tak lagi dapat berdenyut, dan lidah tak lagi merasa. Kematian yang dalam hadits riwayat Thabrani disebut sebagai penghancur segala kenikmatan menyandingkan harapan dan ketakutan kepada Allah swt. Dalam buku ‘Perjalanan ke Negeri Akherat’, ‘Ali ‘Abdurrahman menjelaskan bahwa kematian adalah keluarnya roh (nyawa) dari jasad dan keterpisahan roh itu darinya. Prosesnya terdikotomi antara mukmin-shaleh dengan kafir-fajir. Malaikat mencabut nyawa seorang mukmin yang shaleh dengan berkata, “Wahai jiwa yang baik, keluarlah menuju ampunan dan keridhaan Allah swt.”, lalu membukakan pintu-pintu langit dan mencatatnya dalam ‘illiyyin. Sementara kepada seorang yang kafir dan fajir, malaikat berkata, “Wahai jiwa yang kotor, keluarlah menuju kemurkaan Allah swt.”, lalu melemparnya ke tempat terendah dan mencatatnya dalam sijjin. Bahkan, bukan strata pendidikan yang telah dicapai di dunia-lah yang menjadi indikator kecerdikan seseorang. Indikatornya yaitu sebanyak apa kita mengingat kematian dan sejauh mana kita mempersiapkan bekal menghadapi masa setelahnya.

Kemudian muncul pertanyaan, “Baik-kah penghujung umur kita nanti?”

Pun momentum kematian terikat pada buhul-buhul kita, husnul atau su’ul-nya kematian kita menjadi rahasia Allah swt. Padahal pemberian-Nya tak mampu tertandingi oleh kualitas dan kuantitas amal manusia. Sementara kondisi akhir dari kehidupan dijadikan sample yang merepresentasikan seluruh garis kehidupan kita. Konsekuensi logis dari semua itu adalah keistiqamahan. Berdasarkan pengalaman mendaki Semeru akhir tahun lalu, bertahan di puncak gunung lebih penting daripada mendaki puncak itu sendiri. Untuk bertahan di puncak, M. Anis Matta menulis dalam buku ‘Menyongsong Kematian Husnul Khatimah’, kita harus dapat menghindari jebakan-jebakan kesuksesan, mempertahankan obsesi pada kesempurnaan pribadi, melakukan perbaikan kesinambungan, melakukan pertumbuhan tanpa batas akhir, dan mempertahankan semangat kerja dengan menghadirkan kerinduan abadi kepada surga dan kecemasan abadi kepada neraka.

Dalam buku ‘Metode Menjemput Maut, Perspektif Sufistik’ karya Al Ghazali, tertulis ketika Al Jaahizh dilihat orang dalam mimpi dan ditanya, ”Bagaimana Allah swt. memperlakukanmu?”. Dia menjawab, “Janganlah kau tulis sesuatu dengan tanganmu kecuali yang mungkin membuatmu senang di hari kiamat.”.

Allah swt. berfirman dalam QS Al Isra’ ayat 13-14, “Dan setiap manusia telah Kami kalungkan (catatan) amal perbuatannya di lehernya. Dan pada hari kiamat Kami keluarkan baginya sebuah kitab dalam keadaan terbuka. Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada hari ini sebagai penghitung atas dirimu.”

Wallaahua’lam.