Saturday, January 12, 2008

Guru, Sang Pahlawan yang Terasingkan

Sekilas kita membaca judul di atas, mungkin akan terbesit berbagai pertanyaan. Di antaranya adalah pertanyaan “Apa yang dimaksud dengan pernyataan tersebut?”. Pertanyaan tersebut akan terjawab jika kita menelisik peran dan kondisi dari guru belakangan ini.

Guru merupakan sosok yang sangat penting dan tidak tergantikan perannya. Ia bagaikan “mesin pencetak” orang-orang cerdas, orang-orang yang diharapkan membawa Indonesia ke arah yang lebih baik dan beradab. Guru layaknya oase di tengah padang gurun yang sangat panas. Ia memberikan “air” ilmu sebagai pelepas dahaga para pencari ilmu. Ia merupakan telaga ilmu yang tak akan pernah habis ilmunya meski kita mengambilnya setiap hari. Kecintaan pada anak didiknya begitu suci, sesuci dan sebening embun di pagi hari. Ia tidak pernah mengeluh dan merasa letih dalam mengajar. Ia tidak mengharap apapun kecuali satu, yaitu ia berharap suatu saat nanti anak didiknya menjadi orang yang bahagia dan sukses.

Guru adalah “Sang Pahlawan Sejati” meski ia tidak memiliki tanda jasa, meski ia tidak pernah tercantum dalam daftar para pahlawan nasional. Namun, lewat didikannya ia telah mencetak para pahlawan nasional, lewat sentuhan kasih sayangnya ia telah mencetak orang ternama di negeri ini. Cahaya keikhlasannya seterang matahari ketika siang dan sebenderang rembulan di kala malam. Ia tidak pernah mengharap balasan berupa materi duniawi apalagi hanya sekedar pujian yang melenakan. Cukuplah sang Ilahi yang akan membalasnya nanti karena Ia lah sebaik-baik pemberi balasan.

Akan tetapi, bagaimana kondisi Sang Pahlawan tersebut belakangan ini? Kondisinya secara tidak langsung dapat dijawab dengan melihat realita yang ada di SD, SMP, SMA. Ketika pertanyaan “Siapa yang bercita-cita menjadi guru?”, hampir tidak ada yang mengacungkan jari kecuali hanya segelintir orang. Setelah ditelaah dan ditanyakan alasannya, didapatlah suatu pernyataan bahwa menjadi guru tidak akan sejahtera. Dengan menjadi guru, kita hidup serba kekurangan. Perjuangan dan jerih payah kita sebagai guru tidak sebanding dengan apa yang kita dapat.

Itulah kondisi dari para guru belakangan ini, meski pernyataan di atas tidak sepenuhnya benar. Memang, pemerintah kita kurang memberikan perhatiannya pada pendidikan terutama kurangnya apresiasi pada guru. Gaji yang ia dapat dari mengajar tidak sebanding dengan kerja kerasnya. Tidak heran jika banyak guru yang melakukan kerja sambilan untuk menghidupi keluarganya. Hal ini berimplikasi pada kurangnya konsentrasi guru dalam mengajar. Ia tidak akan sempat untuk melakukan inovasi dalam mengajar, tidak mempunyai cukup waktu untuk mempersiapkan apa yang akan diajarkannya dengan sebaik-baiknya. Hal ini dapat terjadi karena pikiran dan konsentrasinya terbagi antara mengajar dan mencari pendapatan lain di luar mengajar. Akhirnya output yang didapat yaitu kualitas anak didik yang kurang terjamin.

Guru yang seharusnya mendapat perhatian dan apresiasi yang tinggi dari pemerintah, kini hanya menjadi layaknya lentera yang cahayanya meredup. Tidak ada yang memberikan perawatan kepadanya sehingga lama-kelamaan cahayanya semakin meredup dan hilang. Walaupun pada kenyataannya, tidak ada yang bisa memudarkan cahaya ilmu dari seorang guru. Pernyataan sebelumnya hanya sebagai perumpamaan kondisi yang sangat memprihatinkan dari seorang guru.

Lalu, bagaimana solusinya? Yang sebenarnya berhak dan mempunyai kapasitas menjawab pertanyaan ini adalah para elit yang duduk di bangku pemerintahan. Merekalah yang berwenang mengeluarkan kebijakan tentang pendidikan yang di dalamnya juga terdapat nasib para pejuang pendidikan (baca : guru). Kita sebagai masyarakat biasa, hanya berharap dan memberikan saran bahwa jika ingin menjadikan negara ini maju, kita harus memajukan dulu tingkat pendidikannya. Untuk memajukan tingkat pedidikan, selain membenahi seluruh infrasuktur dan sarana lain yang menunjang, kita juga harus memberikan hak kesejahteraan bagi para guru. Dengan memberikan fasilitas dan gaji yang sesuai dengan pengabdiannya, guru akan merasa nyaman dalam mengajar. Ia akan berkonsentrasi penuh dalam mengajar dan tidak akan dipusingkan dengan hal-hal yang lain. Ia akan mempersiapkan materi yang akan diajarkan dengan sebaik-baiknya. Ia juga akan melakukan inovasi dan mengasah kreativitasnya dalam mengajar untuk menghasilkan anak didik yang unggul dan berkualitas.

Di samping itu, jika hak-hak guru diperhatikan dan direalisasikan oleh pemerintah, maka akan banyak orang yang berminat menjadi guru. Orang-orang yang pandai akan lebih memilih menjadi guru dari pada bekerja di perusahaan swasta jika yang ia dapatkan tidak jauh berbeda. Hal ini sangat penting karena apabila yang menjadi guru adalah orang-orang yang cerdas, besar kemungkinan anak didiknya juga akan meniru gurunya menjadi orang yang cerdas. Meskipun hal ini tidak mutlak, setidaknya hal ini lebih baik dari pada yang menjadi guru adalah orang-orang yang biasa saja.

Ada pepatah yang mengatakan “Negara yang besar adalah yang menghargai pahlawannya”. Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa, pahlawan yang terasingkan dan tenggelam dalam euforia pasca kemerdekaan , era globalisasi, dan pengaruh liberalism-kapitalisme yang hanya mementingkan orang-orang elit yang punya banyak modal. Sudahkah negara ini menjadi negara yang besar? Marilah kita berintrospeksi diri apakah kita sudah menghargai jasa para guru. Biarkan waktu yang akan menjawabnya.

Bandung, 20 November 2007

Nur Ahmadi - Etoser 06 BDG

13206125

Program Studi Teknik Elektro

Sekolah Teknik Elektro dan Informatika (STEI)

Institut Teknologi Bandung

No comments: